Halaman

Jumat, 30 Maret 2012

ADAB, KECERDASAN EMOSIONAL

Adab, etika, tata krama adalah wujud kecerdasan emosi sesorang. Orang yang beradab pastilah tinggi ruhiyahnya, cerdas aqalnya, santun perilakunya.
Abdullah Ibnu Mubarok pernah mengatakan "untuk belajar adab dibutuhkan 10 tahun lebih lama dari pada waktu mempelajari ilmu". Sehingga jangan heran bila menemukan ada orang pandai secara keilmuan namun tidak beradab atau orang kurang pandai secara ilmu namun adabnya sangat santun. itu tergantung prioritasnya dalam hidup, ulmu yang dipelajarinya dan caranya memperoleh ilmu. sejatinya orang yang mencari ilmu dgn tartib ta'lim muta'allim akan berbeda dengan yang sekedar belajar dan meremehkan pengajarnya.


Saat ini kita dengan mudah menemukan orang berilmu tinggi (ditandai dengan gelar yang disandangnya dan jabatan yang dipangkunya) namun akhlaqnya tercela. Ini semata karena yang bersangkutan tidak memiliki adab. Sehingga jangan heran jika ditemukan lebih banyak koruptor di level orang berpendidikan dari pada yang pendidikannya hanya standar menengah bawah.
Dapat pula kita temukan dalam berbagai cerita, Adab yang hilang atau tidak beradabnya seseorang  membuat seseorang hilang pekerjaan, kehilangan pertemanan, persaudaraan dan kehilangan keluarga terdekatnya.
Adab sebagai tata krama setidaknya menetapkan 5 hal yang dapat menjadikan seseorang berkedudukan tinggi
1. Berilmu, dengan ilmunya dia memahamkan kebajikan.
2. Karakter baik yang kuat, sehingga mampu bersopan santun dan bersosialisasi dengan baik.
3. Faham akan fungsi, peran dan kedudukannya sebagai makhluk ciptaan Tuhan.
4. Amanah, mampu menjalankan tugas-tugas dengan baik, konsisten dan komitmen tinggi.
5. Tabligh bil ahsan, mampu menjadi penyampai yang baik dengan cara yang baik.

Orang yang memiliki 5 hal ini akan menjadi mulia. Menurut sebagian ahli hikmah, tidak ada adab kecuali disertai dengan kepintaran, tidak disebut pintar bila tanpa sopan santun.

Orang yang tidak beradab berhak mendapat siksaan. Ibnul Qoyyim mengatakan: "Tetaplah bertegang teguh dgn etika secara dzohir dan bathin, barang siapa yang tdk punya adab bathin dan lahir, baginya pantas mendapat siksa secara dzohir dan bathin.

dinyatakan pula, barangsiapa yang menyepelekan adab, orang tersebut akan disiksa dengan sunnah nabi sehingga dia terhalang dari melakukan sunnah, kemudian setelah itu orang yang bersangkutan pun menjadi terhalang dari menunaikan kewajiban, kemudian hal tersebut membuat seseorang  terhalang dari Allah secara total. dan tempatnya yang paling layak setelah meninggalkan kebaikan Allah adalah Neraka!

Lalu, mengapa kita hrs beradab? adab atau tata krama akan menjadikan

1. Ketenangan disekitar kita.
2. Mencabut dendam dihati, rasa kesal terhadap sesama
3. Dapat memperkokoh ukhuwah, (tiang kebermasyarakat)
4. Menjadi jalan memperoleh ilmu yang bermanfaat.

Tingkatan Adab

1. Adab kepada Allah
    Manusia yang adabnya sesuai keinginan Allah dapat menghantarkannyakesyurga.

    Ibnul Qoyyim mengatakan ada 3 adab yang mesti dilakoni manusia kepada Allah:

1. Menjaga kesempurnaan adab kpd Allah
2. Menjaga hati agar tidak berpaling dari selain Allah
3. Menjaga perbuatan dari segala kemurkaan Allah

2. Adab kepada rosululloh (ketaatan kepada rosul, tunduk kepada segala perintahnya,    
    menerima berita rosul dengan membenarkannya)

3. Adab kepada makhluq.
   
Adab kepada manusia terbagi bagi tingkatannya:
1. Adab orang tua kepada anak
2. Anak kepada orang tua
3. Adab kepada saudara sekandung, saudara misan dsb.
4. Adab kepada tetangga
5. adab kepada rekanan ker

Sinergi Dalam Dunia Pendidikan

Pendidikan adalah Usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar tercipta keaktifan dalam pengembangan diri sehingga spiritual, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia dan keterampilan peserta didik terpenuhi bagi diirinya masyarakat dan bangsanyaa. (UU tentang Sisdiknas, UU RI No 20 Tahun 2003) simple, but no simple in praktik....

Sejatinya, jika kita menilik berbagai sumber yang menjadi acuan tentang pendidikan, maka peran pendidik menjadi seolah-olah memiliki peran sentral. Shingga menjadi sebuah tuntutan juga bagi pendidik yang lebih akrab disebut guru, dalam mayoritas literatur disebutkan bahwa guru mesti memiliki kualifikasi, kompetensi dan sertifikasi.

Dalam pasal 8 UURI no 14 tahun 2005 mengenai guru dan dosen memang dinyatakan bahwa ”Guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani serta memiliki kemampuan mewujudkan tujuan pendidikan nasional yaitu “Pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman (UU tentang Sisdiknas Bab I pasal 1 ayat 2).

Kualifikasi akademik semestinya tidak hanya diinterpretasikan bahwa guru yang bersangkutan haruslah lulusan dari keilmuan yang diajarkannya. Kalaupun harus, maka itu hanya menjadi syarat minimal. kualifikasi akademik mestinya dinisbatkan dari kualifikasi sang guru terhadap keilmuan yang akan diajarkannya, berdasarkan study otodidak sekalipun. Otomatis guru tersebut layak disebut kompeten dan layak di apresiasi dengan Sertifikat atau KMM ( Kelayakan Mendidik Manusia).

Maka sejauh ini, konsep yang dikemukakan tentang guru dalam dunia pendidikan formal jelas adanya. Seseorang baik laki-laki maupun perempuan yang memiliki panggilan jiwa untuk membentuk generasi penerus yang pancasilais sesuai tuntunan UUD (bukan ujung-ujungnya duit!). Menancapkan keteguhan akan nilai agama yang dianut serta budaya yang berkolaborasi dengan kearifan lokal atau  kultural, nasional maupun budaya-budaya serapan yang positif yang masuk kewilayahnya. Memberikan sensitifitas yang otomatis menjadikan peserta didiknya peka terhadap segala inovasi yang berkembang sehingga mampu berperan serta dalam perkembangan zaman.

Penulis sepakat menyatakan bahwa pendidikan sejatinya mencerdaskan bukan memintarkan. Orang pintar sering mintar-mintari orang (sok pintar dan membodohkan), orang cerdas adalah orang yang tanggap dan mampu bersolusi.


mengutip Gardner, tokoh ini menekankan bahwa inteligensi hanya merupakan konstrak ilmiah yang secara potensial berguna.  Sehingga Jenis-jenis inteligensi Gardner :
A. Kecerdasan spasial, merupakan kecerdasan seseorang yang berdasar pada kemampuan menangkap informasi visual atau spasial, mentransformasidan meodifikasinya, dan membentuk kembali gambaran visual tanpa stimulus fisik yang asli. Kecerdasan ini tidak tergantung sensasi visual. Kemampuan pokoknya adalah kemampuan untuk membentuk gambaran tiga dimensi dan untuk menggerakkan atau memutar gambaran tersebut. Individu yang dominan memiliki kecerdasan tersebut cenderung berpikir dalam pola-pola yang berbentuk gambar. Mereka sangat menyukai bentuk-bentuk peta, bagan, gambar, video ataupun film sebagai media yang efektif dalam berbagai kegiatan hidup sehari-hari.
B. Kecerdasan bahasa, merupakan kecerdasan individu dengan dasar penggunaan kata-kata dan atau bahasa. Meliputi mekanisme yang berkaitan dengan fonologi, sintaksis, semantik dan pragmatik. Mereka yang memiliki kecerdasan tersebut, mempunyai kecakapan tinggi dalam merespon dan belajar dengan suara dan makna dari bahasa yang digunakan. Pada umumnya merupakan ahli yang berbicara di depan public. Mereka lebih bisa berpikir dalam bentuk kata-kata daripada gambar. Kecerdasan ini merupakan aset berharga bagi jurnalis, pengacara, pencipta iklan.
C. Kecerdasan logis matematis. Kecerdasan tersebut mendasarkan diri pada kemampuan penggunaan penalaran, logika dan angka-angka matematis. Pola pikir yang berkembang melalui kecerdasan ini adalah kemampuan konseptual dalam kerangka logika dan angka yang digunakan untuk membuat hubungan antara berbagai informasi, secara bermakna. Kecerdasan ini diperlukan oleh ahli matematika, pemrogram komputer, analis keuangan, akuntan, insinyur danilmuwan.
D. Kecerdasan jasmani kinestetik. Kemampuan untuk mengendalikan gerakan tubuh dan memainkan benda-benda secara canggih, merupakan bentuk nyata dari kecerdasan tersebut. Individu akan cenderung mengekspresikan diri melalui gerak-gerakan tubuh, memiliki keseimbangan yang baik dan mampu melakukan berbagai maneuver fisik dengan cerdik. Melaui gerakan tubuh pula individu dapat berinteraksi dengan lingkungan sekelilingnya, mengingat dan memproses setiap informasi yang diterimanya. Kecerdasan ini dapat terlihat pada koreografer, penari, pemanjat tebing.
E. Kecerdasan musikal. memungkinkan individu menciptakan, mengkomunikasikan dan memahami makna yang dihasilkan oleh suara.. Komponen inti dalam pemprosesan informasi meliputi pitch, ritme dan timbre. Terlihat pada komposer, konduktor, teknisi audio, mereka yang kompeten pada musik instrumentalia dan akustik.
F. Kecerdasan interpersonal, merupakan kecerdasan dalam berhubungan dan memahami orang lain di luar dirinya. Kecerdasan tersebut menuntun individu untuk melihat berbagai fenomena dari sudut pandang orang lain, agar dapat memahami bagaimana mereka melihat dan merasakan. Sehingga terbentuk kemampuan yang bagus dalam mengorganisasikan orang, menjalin kerjasama dengan orang lain ataupun menjaga kesatuan suatu kelompok. Kemampuan tersebut ditunjang dengan bahasa verbal dan non-verbal untuk membuka saluran komunikasi dengan orang lain.
G. Kecerdasan intrapersonal, tergantung pada proses dasar yang memungkinkan individu untuk mengklasifikasikan dengan tepat perasaan-perasaan mereka, misalnya membedakan sakit dan senang dan bertingkah laku tepat sesuai pembedaan tersebut. Kecerdasan ini memungkinkan individu untuk membangun model mental mereka yang akurat, dan menggambarkan beberapa model untuk membuat keputusan yang baik dalam hidup mereka.


Maka Sinergi yang ideal untuk menciptakan keutuhan kecerdasan manusia adalah keterpautan stake holder (pemimpin tertinggi), lembaga pendidikan serta orang tua dalam kesetaraan tindakan menciptakan kecerdasan-kecerdasan tadi.




Senin, 21 November 2011

Berbangga dengan Kelapangan Hati

Pernahkan kita merasa begitu berarti setelah dikritik habis-habisan?
Pernahkah pula kita begitu terpuruk setelah menerima pujian yang luar biasa?
Sungguh kebanggaan yang pantas kita miliki adalah keberpunyaan terhadap kelapangan hati.
Baik untuk menerima kritikan, pujian, hinaan bahkan cercaan yang diluar dugaan. Asal, semua itu kita jadikan introspeksi, pencerahan akan keberadaan diri. Untuk apa? Untuk Siapa? Kemana sejatinya kita kembali nanti? Niscaya.... kita akan sadar bahwa kita ditempatkan di bumi ini dengan satu tujuan....

Kamis, 17 November 2011

Sinergi yang Dianjurkan

SINERGI
Dalam Islam diajarkan selalu bersinergi. Dalam kamus, sinergi disebut sebagi kegiatan gabungan. Jika dianalogikan, maka Islam adalah sinergi antara al-Qur’an dan Assunnah. Dapat juga dikatakan berpedoman pada beberapa hal agar dicapai hasil yang terbaik.
Prinsip ajaran islam banyak di dukung oleh berbagai dalil baik dari Al-Quran atau Sunah. Prinsip ini sangat rasional dan manusiawi sehingga Islam itu sangat memungkinkan untuk dianut oleh mayoritas umat manusia. Hal ini bisa dilihat perbandinganya dengan agama-agama lain, ada agama yang mengenyampingkan kehidupan dunia, memasifkan nafsu seksual, memisahkan agama dengan Negara, meniadakan kepemilikan hak harta pribadi seperti paham sosialis dan lain-lain.
Islam adalah agama yang memelihara hak-hak pribadi, hak keluarga, hak masyarakat, hak lingkungan dan hak Allah. Karena Islam adalah agama yang telah menjadikan umatnya menjadi umat yang middle (Wusto) seperti tertera dalam Al-Baqarah Ayat 143.
Kehidupan dunia tidak boleh ditinggalkan. Kalaupun Allah menyuruh untuk mengejar akherat yang lebih baik dan lebih kekal, bukan berarti yang terbaik diantara kita adalah yang mengejar akherat saja dan meninggalkan keduniawian. Dan tidak pula dapat kita katakan bahwa yang mengejar duniawi adalah orang yang tidak baik. Berdoa yang terbaik bukan hanya kebaikan memohon dunia, karena di akherat dia tidak akan mendapatkan apa-apa. Tetapi yang terbaik adalah yang memohon kebaikan untuk dunia akheratnya serta terhindar dari api neraka ( Lihat Q.S Al-Baqarah : 200). Menjadikan dua-duanya (dunia dan akhirat) menjadi seimbang dalam kebaikan kehidupan manusia, itulah yang diajarkan oleh Islam.
Bila menafkahkahkan harta tidak terlalu murah hati dan tidak terlalu bakhil dan diantara keduanya dia berada di tengah-tengah (Q.S Al-Baqarah : 76) Ada orang yang mau mengeluarkan hartanya buat wasiat seluruhnya oleh nabi dicegah, setengahnya juga dicegah, kata nabi sepertiganya saja sudah cukup. Karena meninggalkan keluarga dalam keadaan cukup lebih baik daripada serba kekurangan.
Ada orang yang ingin masuk surga dengan cara puasa terus menerus tanpa berbuka, ada yang dengan shalat terus-terusan dimalam hari tanpa tidur, ada lagi yang tidak akan menikah seumur-umur lalu oleh nabi di luruskan “Bila dalam berpuasa aku berbuka, bila datang malam aku tidur dan aku bangun serta aku juga nikah”. Ini adalah penegasan nabi yang menggambarkan bahwa Islam tidak boleh melawan sunatullah atau akal garizah yang ada pada setiap manusia. Artinya, ketakwaan yang diajarkan dalam Islam tidak lantas harus menentang hukum alam yang ada. Biarkan setiap diri berjalan di muka bumi ini bagaikan air mengalir. Islam hanya mengarahkan dan memberi petunjuk agar aqidahnya benar, jiwanya kuat, hatinya mulus, akalnya sehat dan keturunannya terpelihara.
 Sabda Nabi Saw: “Agama tidak akan bisa diperberat, kecuali kita yang akan terkalahkan”, “Sebaik-baik perkara adalah pertengahannya”, “siapa yang menginginkan dunia harus dengan ilmu, siapa yang menginginkan akherat harus dengan ilmu dan siapa yang menginginkan keduanya harus dengan ilmu”. Maka seimbangkanlah kehidupanmu karena Allah memerintahkan hambanya untuk hidup seimbang. (Chadijah, Sumber: KH. Abun Bunyamin MA, Pimpinan PonPes Al-Muhajirin Purwakarta)

Pengalaman Spiritual Terhadap Kualitas Guru

PENGAMALAN SPIRITUAL
BAGI PENINGKATAN KUALITAS SUMBER DAYA GURU

Spiritual dan Teori Pengembangan Diri
Kecerdasan Spiritual (dari berbagai sumber) adalah sejenis ukuran kecerdasan yang mencakup kesadaran akan “makna, tujuan, dan pandangan seseorang mengenai hal yang paling berarti dalam hidupnya dan bagaimana semua itu diterapkan dalam kehidupan dan strategi-strategi perilaku sehari-hari. Orang yang mempunyai kecerdasan spiritual akan tercermin dalam apa yang diyakini dan dilakukannya. Sehingga sangat bertanggung jawab terhadap setiap apa yang diembannya”
Menurut Haidar, mengutip tulisan Danah Zohar dan Ian marshal, kecerdasan spiritual laksana lem yang merekatkan, memberi kerangka moral dan motivasi juga etos dan spirit yang mapu memberikan perubahan mendasar dalam diri dan komunitasnya.
Mengapa? Karena orang dengan kecerdasan spiritual meyakini bahwa hidup yang dijalani adalah panggilan hati bukan kepura-puraan atas keterpaksaan. “Unsur spiritual dalam diri manusia membuat dia bertanya mengapa dia mengerjakan sesuatu dan membuat dia mencari cara-cara yang secara fundamental lebih baik untuk dilakukan. Unsur spiritual itu membuat seseorang  ingin agar hidup dan upaya diri memiliki arti”
Lalu apa kaitannya sentuhan spiritual terhadap peningkatan kualitas sumber daya guru?  Mengadopsi pemikiran para pakar di bidang spiritual, penulis berasumsi jika seorang guru memiliki pengamalan spiritual yang baik maka :
1.                            Sikap seorang guru dalam lingkungan kerjanya akan selalu memikirkan ulang tujuan-tujuan mengajar dan mendidik mereka serta me-rekontekstualisasikan efek-efeknya.
2.                            Guru yang telah memiliki landasan spiritual adalah guru yang mawas diri. Dalam lingkungan kerjanya, dia tahu apa yang diyakini olehnya dan komunitasnya, apa dan siapa yang mereka pengaruhi, dan apa yang ingin mereka capai.
3.                            Guru telah memiliki landasan spiritual akan membentuk lingkungan komunitas yang terbimbing oleh visi dan nilai (vision and value led). Visi utama mereka sebagai pengajar dan pendidik terlihat nyata dan mengilhami apapun yang mereka lakukan.
4.                            Dengan spiritual terjaga, guru dan komunitas yang telah dibentuknya merasa bahwa dirinya merupakan bagian dari tujuan manusia yang lebih luas, bagian dari skenario global yang lebih luas. Merasa menjadi bagian dari dan bertanggungjawab terhadap masyarakat, bumi dan kehidupan itu sendiri sehingga akan mempertimbangkan bahwa setiap hal yang dilakukan atau ditampilkan dalam budaya pengajaran dan pendidikan akan berdampak praktis.
5.                            Guru akan menjadi pribadi yang peduli. Mereka memiliki simpati dan rasa kebersamaan dengan pihak yang mereka pengaruhi (khususnya siswa), sehingga merasa bertanggung jawab untuk melakukan sesuatu demi keberhasilan siswa.
6.                            Guru akan mengakui bahwa sudut pandang perlu disimak, dan memahami bahwa sudut pandang memiliki suatu validitas tersendiri sehingga mengakui bahwa keragaman siswa menjadi motivasinya menciptakan iklim yang menggairahkan dalam setiap kegiatan belajar mengajar (KBM).
7.                            Guru yang mengamalkan spiritualnya akan memiliki pula karakter  field-independent (independent terhadap lingkungan). Mereka berani tampil beda, berani memisahkan diri dari orang banyak bahkan berani tidak populer demi kebernilaian dan rasa memiliki harga diri bukan dari pandangan orang lain terhadap mereka melainkan dari satu keyakinan bahwa mereka benar, bahwa mereka bertindak sesuai dengan nilai dan visi yang mereka tanamkan.
8.                            Guru akan membangkitkan pertanyaan-pertanyaan fundamental mengapa? (why?). Mereka tidak membiarkan diri terobsesi oleh hasrat mencapai tujuan-tujuan spesifik. Sebaliknya mereka  merenungkan alasan mereka memilih tujuan-tujuan mereka, bukannya tujuan-tujuan yang lain, dan apa konsekuensi-konsekuensi dari pilihan-pilihan itu.
9.                            Guru akan selalu siap bersikap fleksibel dan proaktif. Mereka tidak akan terkungkung oleh paradigma-paradigma, asumsi-asumsi, atau agenda-agenda yang ditetapkan. Mereka tidak akan takut akan timbulnya pertentangan dari dalam pihak yang loyal yang menolak perubahan. Mereka senantiasa membongkar, jika perlu meruntuhkan asumsi-asumsi mereka sendiri setelah memahami paradigma yang merupakan asal dari semua nilai, tujuan, rencana kerja, dan keputusan mereka memerlukan perubahan dalam dunia pendidikan.
10.                        Guru akan memberikan respon positif terhadap situasi buruk sekalipun. Penurunan prestasi, perubahan psikologi siswa, bahkan suasana kerja yang tidak kondusif memacunya untuk memandang hal tersebut sebagai kesempatan untuk lebih kreatif demi mencapai tujuan-tujuan besarnya.
11.                        Guru akan memelihara sikap rendah hati. Tidak akan membanggakan diri mereka, tidak pernah mengandalkan prestasi masa lalu, tidak pernah merasa puas diri atau merasa paling benar sendiri. Spiritual guru dapat ditingkatkan dengan melakukan hal-hal yang benar dengan tidak mencari pujian atau imbalan yang tidak pantas diterima.
12.                        Guru yang dengan pengamalan spiritual yang tinggi memiliki jiwa pengabdian. Mereka merasa terpanggil untuk membagi-bagikan ilmu dan kemampuan mereka demi memenuhi kebutuhan yang lebih luas dari masyarakat (siswa), kemanusiaan, dan kehidupan itu sendiri. Mereka sangat bersyukur atas setiap kontribusi yang dapat mereka lakukan demi diri mereka dan orang lain. Mereka tidak bersikap pasif.
Oleh karena itu prinsip dasar guru yang memiliki landasan spiritual dalam kehidupannya adalah menjadi baik itu menguntungkan. Lalu apakah guru dengan pondasi spiritualnya kemudian menafikan kebutuhan lahiriyahnya? Tentu saja tidak! Walau kebutuhannya bisa jadi setara dengan kebutuhan bertingkat yang di uraikan Maslow, ketajaman spiritualnya  akan menuntun motivasinya bukan pada motivasi kapitalis yang motivasinya penonjolan diri atau kompetitifitas, kemarahan, keserakahan dan ketakutan sehingga menimbulkan corak saling memangsa.
Definisi motivasi kapitalis difahami selama ini bahwa  orang yang mampu bersaing (kompetitif)lah yang mengeruk sebagian besar keuntungan. Kemarahan mencuat karena orang merasakan ketidakadilan, ketiadaan keadilan dan keterwakilan. Kekecewaan karena merasa hanya menjadi pion dalam sebuah permainan. Keserakahan merupakan penggerak yang utama dalam pemenuhan kebutuhan dengan melakukan strategi-strategi licik dan busuk. Ketakutan muncul dari takut membuat kesalahan, takut dicaci maki dan takut dipecat.
Motivasi yang muncul dari seorang pendidik (guru) dengan landasan spiritual dalam hemat penulis (sependapat dengan pendapat para pakar) akan mengarah kepada Netralitas/Pemahaman konsep diri akan makna mendidik. Eksplorasi/Mengembangkan kemampuan diri dalam dunia pendidikan. Kecenderungan bergaul (sosialisasi) dan bekerjasama sehingga memunculkan semangat kelompok (esprit des corps)/ luwes dan ramah baik terhadap peserta didik maupun lingkungan sekitarnya, Kekuatan dari dalam yang mengarah pada penguasaan diri (inner discipline) / jiwa yang tangguh. Generativitas (kreatifitas yang digerakkan oleh cinta dan hasrat positif) / kreasi dari naluri yang bersih dan tulus demi kemajuan dibidang pendidikan. Pengabdian yang lebih tinggi (higher service) / ikhlas. Jiwa dunia (world soul), orang yang melihat dirinya, orang lain dan alam sebagai manifestasi Tuhan . Pencerahan (enlightment), hidup biasa menurut orang namun luar biasa baginya setelah dimuliakan oleh cahaya bathiniah. Serta mampu mengimplementasikan dirinya sebagai jiwa yang berharga secara individu, komunitas dan lingkup yang lebih luas.
Menurut penulis, “Pendidik yang telah mengimplementasikan keyakinan akan Tuhan akan mampu menggali kualitas dirinya. Ketika menjalankan tugas sebagai guru tidak pernah terbersit untuk mengharapkan menjadi guru favorit lalu kemudian disegani, dipuji dan dipuja siswa dan lingkungan komunitas kemudian jumawa dengan ke Aku-annya sebagai bintang”.
Guru yang mengamalkan spiritualnya dalam kehidupan sehari-hari termasuk dalam mendidik akan melakukanlah tugas keguruan secara individu dan kelembagaan secara sinergis dan berkesinambungan demi tercapainya tujuan besar bersama. Sertifikasi dan serentet tunjangan akan dianggap  berkah semata, hal tersebut tidak menjadikan dirinya mengarah pada satu tujuan yang bersifat materil melulu dengan cara-cara yang melanggar norma.
Dalam tugas mengajar dan mendidik yang diembannya, seorang guru akan sangat bertanggung jawab terhadap setiap tugas-tuganya karena dia menyadari betul bahwa apapun yang dilakukannya tak luput dari pengamatan Tuhannya, sikap polahnya tercacat rapih dalam buku harian yang dituliskan malaikat pada setiap hembusan nafasnya.  
Guru yang telah mengamalkan spiritual dalam kesehariannya akan selalu mengingat kembali konsep besar diri dan tujuan komunitas dimana dia bergabung, sehingga seorang guru tidak lagi arogan, serakah, asal-asalan dan sanggup menipu diri dan lingkungan. Dengan spiritual yang diamalkan dengan baik, target yang ingin dicapainya adalah kebaikan bagi semua, kebaikan yang dijanjikan Tuhan bagi orang baik. (Chadijah, dari berbagai sumber)




 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Affiliate Network Reviews